Industri Nikel Indonesia di Persimpangan Geopolitik Global
Indonesia is key to the energy transition
– International Renewable Energy Agency (IRENA)
Nikel kini telah bertransformasi menjadi mineral strategis yang menentukan arah transisi energi global. Penambangan nikel—atau umumnya dikenal komponen penting dalam baterai kendaraan listrik— dicantumkan dalam taksonomi yang tujuannya untuk mengurangi polusi dan dampak pada lingkungan.
Indonesia, sebagai penghasil nikel terbesar dunia per tahun 2022, telah menjadi sorotan utama dalam peta ekonomi mineral global. Negara ini menguasai hampir 1,6 juta ton kandungan nikel, setara dengan 55% dari pangsa pasar global, menurut perhitungan BGR. Suatu proyeksi menunjukkan bahwa Indonesia dapat menyediakan sekitar 70% dari pasokan nikel dunia pada akhir dekade 2028.
Investasi dalam PLTU captive akhirnyamelonjak di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir karena incaran industri teknologi dunia. Dominasi Indonesia yang begitu cepat mengubah secara dramatis lanskap pasokan pertambangan global yang moderat menjadi sangat terkonsentrasi dalam waktu singkat. Inilah alasan mengapa Indonesia disebut-sebut menjadi kunci dalam transisi energi dunia.
Kebijakan Export Ban of Raw Material
Kebijakan larangan ekspor bahan mentah yang diterapkan pemerintah Indonesia sejak 2020 tentu mengubah fundamental posisi tawar negara dalam rantai nilai global. Larangan ekspor ini memaksa negara-negara global untuk meninjau ulang strategi rantai pasok mereka. Hasilnya, Uni Eropa menggugat Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada Desember 2022, yang dianggap melanggar aturan dagang.
Ketegangan ini mencerminkan dilema klasik negara berkembang ketika industrialisasi dalam sistem perdagangan global yang seringkali menguntungkan negara maju. Indonesia berargumen bahwa larangan ekspor merupakan bagian dari strategi konservasi sumber daya alam dan pembangunan industri domestik, sementara Uni Eropa melihatnya sebagai praktik proteksionisme yang membatasi akses ke bahan baku.
Meskipun Indonesia kalah dalam gugatan terkait kebijakan larangan ekspor bahan mentah, peluang investasi pada industri nikel tetap terbuka. Dampaknya, harga produk olahan nikel dunia cenderung mengalami peningkatan. Ekspor turunan nikel meningkat drastis dari 808 juta US$ (Jan-Agt 2020) menjadi 19,62 miliar US$ (April 2024), sementara ekspor feronikel hampir berlipat ganda mencapai 8,76 Miliar US$. Hilirisasi bijih nikel berhasil mengubah defisit perdagangan puluhan tahun menjadi surplus.
Pembiayaan Asing Mendominasi Industri Nikel
Di sisi lain, risiko ketergantungan terhadap negara investor juga masih signifikan. Sebagian besar fasilitas pengolahan nikel Indonesia, sayangnya, masih didominasi kepemilikan modal dan teknologi asing. Konsentrasi pengolahan nikel kini dikuasai sekitar 75% oleh Tiongkok, dengan total investasi mencapai $20 miliar.
Perusahaan-perusahaan seperti Tsingshan, GEM, CATL dan Huayou juga telah mengekspansi industri nikelnya di Indonesia, menciptakan oligopoli dengan penguasaan ekosistem industri secara dominan. Ketimpangan tampak jelas, sebagian besar joint venture menerapkan model dimana pihak Tiongkok menguasai mayoritas saham dan teknologi inti, sementara Indonesia hanya menyediakan sumber daya alam dan beberapa insentif fiskal.
Pola ini tentu berisiko ketergantungan teknologi jangka panjang jika tidak diimbangi dengan upaya diversifikasi sumber dan pengembangan teknologi alternatif. Pada saat yang sama lagi, transformasi industri Indonesia menimbulkan konstelasi permasalahan lain yang belum sepenuhnya terselesaikan. Tesla salah satunya, melayangkan kritik terhadap industri nikel Indonesia karena menyebabkan deforestasi, masih masifnya polusi batubara, dan kematian pekerja.
Indonesia sebagai Orkestrator Industri Nikel, ‘Take it’ or ‘Leave it’
Di forum G20 dan APEC, Indonesia sendiri mengadvokasi reformasi sistem perdagangan global yang memberikan fleksibilitas lebih bagi negara kaya sumber daya baku untuk mengembangkan industri pengolahan domestik. Strategi negosiasi multilateral Indonesia semakin fokus pada pengakuan hak negara berkembang untuk mengejar industrialisasi.
Indonesia seutuhnya memiliki kesempatan berharga untuk tidak hanya menjadi pemasok utama, tetapi juga pengatur “ritme” transisi energi global dengan memanfaatkan posisinya sebagai pemilik cadangan nikel terbesar. Situasi ini tentu mengharuskan Indonesia menghadapi persaingan dari negara penghasil nikel lainnya seperti Filipina, Rusia, dan Australia—masing-masing dengan strategi dan keunggulan kompetitif berbeda.
Fase berikutnya tidak lepas dari tantangan dan diperlukan strategi industrialisasi berbasis sumber daya yang harus menekankan pengembangan kapabilitas domestik dalam teknologi pengolahan, hingga—“hilirisasi” yang telah digaung-gaungkan. Indonesia kerap disebut-sebut sebagai “key to the energy transition,” tanpa kebijakan yang berarti, terma ini tidak lain hanya menjadikan Indonesia pelayan bagi agenda energi negara lain.
Penulis: Berlin Syahputra Situmorang