Buruh dalam Hubungan Industrial
Berbicara tentang buruh, mungkin pembaca pernah menonton film yang berjudul North Country, sebuah film yang diadaptasi dari kisah nyata dan diproduksi pada tahun 2005. Sinema tersebut mengisahkan tentang perjuangan perempuan pekerja tambang yang menuntut hak perlindungan dan keselamatan kerja terhadap perusahaan tambang batu bara di Minnesota bagian utara, Amerika Serikat pada tahun 1989. Jika membaca sebuah novel klasik Prancis berjudul Germinal karya Émile Zola, maka dikisahkan pula tentang gerakan pekerja buruh tambang pada abad 19 yang menuntut hak-hak mereka sebagai pekerja di tengah kelesuan industri pertambangan kala itu. Kisah fiksi atau non-fiksi tentang buruh melalui film maupun buku tidak hanya sampai disitu, film-film seperti Matewan (1987), Norman Rae (1979), The 33 (2015) atau novel-novel seperti Death in the Haymarket (2006) atau King Coal (1917) juga mengisahkan tentang penderitaan buruh hingga dilakukannya gerakan-gerakan buruh. Kisah-kisah tentang buruh memang menggelitik jiwa kemanusiaan karena sebagian besar konflik yang diangkat adalah ketidakadilan dalam pemenuhan hak mereka sebagai pekerja. Nampaknya istilah buruh belum sanggup terlepas dari pelabelan kesengsaraan dan jauh dari kata kesejahteraan yang dikehendaki.
Hari Buruh.
Setiap 1 Mei diperingati dunia sebagai May Day, atau yang kita kenal dengan Hari Buruh. Hari buruh di beberapa negara di dunia biasanya diperingati dengan hari libur tahunan bagi para pekerja instansi. Eksistensi hari buruh sendiri adalah hasil dari usaha gerakan serikat buruh yang memperjuangkan keberhasilan ekonomi dan sosial para buruh dalam perindustrian.
Hari Buruh lahir sebagai hasil dari berbagai rentetan perjuangan kelas buruh (pekerja) dan organisasinya demi mendapatkan kendali ekonomi-politik atas hak-hak industrial. Seperti yang kita tahu, muncul dan tumbuhnya organisasi buruh tidak dapat dipisahkan dari proses industrialisasi. Asal-usul terbentuknya serikat buruh terjadi pertama kali di Inggris dan Amerika Serikat pada akhir abad ke-18. Istilah serikat buruh pada umumnya meliputi berbagai macam organisasi dan asosiasi buruh yang timbul dalam ekonomi industri. Sedangkan Gerakan Buruh sejatinya adalah aktivitas buruh untuk memperbaiki kondisi kerja dan kehidupan mereka (The Encyclopedia of Social Science). Sifat dari gerakan ini dapat berupa sementara maupun permanen. Sedangkan serikatnya bersifat sukarela, berkelanjutan serta memiliki tujuan jangka panjang demi mencapai perlindungan dan kesejahteraan para anggotanya. Melalui serikat-serikat inilah, para pekerja berusaha untuk mempengaruhi dan memperjuangkan kondisi kerja, kebijaksanaan perusahaan dan praktik manajemen, serta kebijaksanaan pemerintah tentang kondisi , persyaratan dan hubungan kerja. Tahun 1884, Robert Owen seorang sosialis asal Inggris mulai mengorganisir buruh dalam gerakan nasional yang disebut “The Grand National Consolidation Trades Union”. Sejak itu, jumlah anggota serikat kerja pun mulai bertambah. Peningkatan anggota serikat buruh juga terjadi di Amerika Serikat yang didominasi oleh pekerja kayu dan pertambangan.
Penetapan hari buruh pada tanggal 1 Mei tidak lepas dari peristiwa Haymarket pada tahun 1886, yaitu peristiwa klimaks dalam aksi pemogokan kerja 400.000 buruh di Chigago, Amerika dengan melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja yang sebelumnya 20 jam menjadi 8 jam perhari. Aksi ini berlangsung selama 4 hari berturut-turut. Pada hari ke-empat, terjadi kerusuhan yang menyebabkan korban tewas dan luka-luka. Pasca peristiwa haymarket, banyak tokoh-tokoh buruh yang ditangkap dan diadili tanpa proses hukum yang jelas sehingga timbul simpatisan-simpatisan buruh yang semakin meluas. Baru pada bulan Juli tahun 1889, Kongres Sosialis Dunia yang diselenggarakan di Paris menetapkan tanggall 1 Mei sebagai hari buruh sedunia dan peringatan ini tetap dilakukan hingga hari ini di berbagai dunia.
Gerakan Buruh di Indonesia
Serikat dan Gerakan buruh di Indonesia dapat dibagi dalam 6 periode, yaitu Masa Penjajahan Hindia Belanda (sebelum tahun 1879), Masa Munculnya Gerakan Serikat Buruh (1879-1945), Masa Revolusi (1945-1959), Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Masa Orde Baru (1965-1998), dan Masa Reformasi (1998-sekarang).
- Masa Penjajahan Hindia Belanda (sebelum tahun 1879).
Situasi hubungan industrial antara buruh dan pemberi kerja pada masa itu tidak lebih seperti hubungan majikan dan budaknya. Pada masa ini sekitar 6 juta penduduk Indonesia hidup pada sektor buruh, baik itu buruh yang sudah bersentuhan dengan teknologi, buruh industri kecil, buruh lepas maupun buruh musiman (buruh tani dan tani miskin). Pada masa ini pula, berlaku sistem kerja yang populer dilakukan oleh pemerintah lewat mitra dagang VOC, yaitu sistem kerja rodi dengan upah minimal serta sanksi fisik dan pajak tinggi. Tindakan sewenang-wenang yang terjadi pada masa ini melahirkan gerakan-gerakan buruh pada periode berikutnya, karena pada masa ini, terdapatnya serikat buruh hanya terdiri dari organisasi golongan yang nenampung buruh kulit putih. - Masa Munculnya Gerakan Serikat Buruh (1879-1945)
Terinspirasi oleh lahirnya Netherland Indische Onderwys Genootschap (NIOG), sebuah serikat buruh di Belanda pada tahun 1879, para buruh pribumi mulai mendirikan serikat buruh sendiri seperti Pos Bond, Cultuur Bond, Perkumpulan Bumi Putra Pabean, Serikat Dagang Islam, Serikat Pekerja Pabrik Gula, Persatuan Pergerakan Kaum Buruh, dan lain-lain. - Masa Revolusi (1945-1959)
Pada masa ini , beberapa serikat buruh dilebur menjadi satu persatuan dan beberapa membentuk partai buruh. Pada masa ini pula, beberapa peraturan tentang buruh disahkan seperti UU No.21 tahun 1954 tentang perjanjian perburuhan antara serikat buruh dan majikan, UU No. 22 tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan. Kebebasan buruh dalam berserikat juga didukung dengan disahkannya UU no. 18 tahun 1956 tentang ratifikasi Konvensi ILO no. 98. Kemudian pada tahun 1959, dibentuk Badan Koordinasi Buruh Indonesia (KOBI) yang bertujuan untuk melakukan perbaikan syarat-syarat perburuhan dan menghilangkan hal-hal yang menghambat jalan perbaikan tersebut. - Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Pada masa ini, pasca dikeluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959 maka secara tidak langsung mempengaruhi kegiatan-kegiatan serikat buruh yang sebelumnya bersifat umum, menjadi lebih mementingkan kaum buruh secara spesifik. Beberapa serikat buruh pada masa ini juga mendukung gerakan Trikora pada tahun 1961 dengan membentuk Sekber Buruh. Namun pada tahun 1965 beberapa tokoh-tokoh serikat buruh ditangkap dan diadili karena berafiliasi dengan PKI. - Masa Orde Baru (1965-1998)
Pada masa orde baru, pemerintah membentuk Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia (MPBI). Serikat-serikat buruh dipersatukan dalam Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI). Akibatnya, pada masa orde baru, buruh tidak berdaya dalam membentuk serikat buruh sendiri. Pada masa ini pula gerakan buruh cinderung dihubungkan dengan gerakan dan paham komunis sehingga ditabukan di Indonesia. - Masa Reformasi (1998-sekarang)
Meskipun kekebasan berserikat untuk buruh telah disahkan UU No. 21 Tahun 2000 sehingga memungkinkan adanya serikat buruh lebih dari satu, namun nyatanya hal ini malah memberikan banyak konflik perselisihan dengan perusahaan. Pada masa ini, pemerintah membuat UU yang mengatur ketenagakerjaan melalui UU No. 13 Tahun 2003 dan penanggulangan perselisihan melalui UU No, 2 tahun 2004.
Peran Pemerintah dalam Hubungan Industrial.
Dalam sebuah industri, pengusaha dan pekerja sudah pasti memiliki kepentingannya sendiri. Pengusaha merasa berhak untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, sementara pekerja merasa berhak untuk mendapat upah yang layak. Dalam menejemen konflik, hal ini disebut strategi dominant competing sehingga keduanya terjebak dalam situasi apa yang disebut dengan prisoner’s dilemma. Prisoner’s Dilemma dalam ilmu sosial dikenal merupakan suatu strategi permainan. Dalam permainan tersebut diilustrasikan bagaimana dua entitas yang tidak dapat bekerjasama meskipun secara rasional mereka sangat tertarik untuk melakukan kerjasama tersebut. Korporasi atau pengusaha sebagai pihak kekuatan modal atau kelompok yang memiliki dominan dalam perekonomian sangat yakin akan selalu didukung oleh sistem, sehingga ada kecenderungan menolak tuntutan pekerja. Beberapa tuntutan kerja yang diremehkan adalah tuntutan hak yang menyangkut kesejahteraan pekerja seperti upah layak, perlindungan kerja, keselamatan kerja, jaminan sosial, jam kerja, dan lain-lain. Ketika tuntutan mereka tidak diperhatikan, para pekerja akan frustasi dan menuntut keadilan karena merasa menjadi sebagai korban. Selain itu, demi alasan keamanan, para pekerja, termasuk rakyat di dalamnya pun seringkali harus selalu berhadapan dengan aparat ketika terjadi konflik lahan dengan pemilik hak kelola seperti perusahaan pertambangan, perkebunan, maupun hutan. Belum lagi tekanan-tekanan yang harus dihadapi pekerja apabila mereka menuntut haknya. Seperti pemiskinan, tuduhan kriminal, dll. Tensi konflik seperti ini memicu kekerasan, inilah mengapa perselisihan antara pekerja dan pengusaha juga akhirnya menyangkut kepentingan negara.
Persoalan hubungan pengusaha dan pekerja di era industrialisasi harus dilihat dari sudut pandang yang lebih luas. Konsekuensi globalisasi tidak dapat dihindari, yaitu masuknya investor asing di Indonesia. Hal ini harus disiasati agar negara yang memiliki wewenang untuk mengatur demi kesejahteraan masyarakat dapat mengambil manfaat dengan hadirnya investor asing. Negara dalam hal ini pemerintah, harus mengambil kebijakan yang membela kepentingan pekerja tanpa mengesampingkan kepentingan ekonomi melalui pengusaha.
Pokok perselisihan antara buruh dan pengusaha umumnya mencakup masalah pengupahan, jaminan sosial, perilaku usaha, ketidakselarasan antara daya kerja dan kemampuan kerja, serta masalah pribadi. Pemerintah selaku pelindung warga negara, termasuk di dalamnya adalah buruh dan pengusaha, sejauh ini telah mengeluarkan berbagai macam peraturan untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan. Peraturan yang mengatur hal tersebut tertuang dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan UU No, 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pada UU No. 2 tahun 2004, memuat asas penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dilakukan secara musyawarah, mufakat dan berpijak pada satu prinsip. Apabila tidak terjadi kesepakatan, maka dapat dipilih dua jalur yaitu peradilan dan nonperadilan. Beberapa bentuk penyelesaian secara wajib yang diatur oleh UU tersebut diantaranya adalah bipartite, mediasi, konsiliasi, pengadilan hubungan industrial dan mahkamah agung.
Mitos revolusi industri yang mengatakan bahwa pemilik modal besar dapat menjadi kelompok hegemoni dalam struktur dan mendominasi kekuatan sosial ekonomi negara, harus dibantah dengan kebijakan-kebijakan oleh negara yang sejatinya adalah kekuatan entitas politik yang paling utama. Negara harus dapat menunjukkan kekuatan politiknya demi kesejahteraan warga negaranya di bidang ekonomi dan sosial. Di sisi lain, masyarakat Indonesia juga diharapkan cerdas sebagai pekerja dan kreatif. Para pekerja harus meningkatkan kualitas dan produktivitasnya sehingga mampu membantu menjalankan roda perekonomian agar terus berkelanjutan. Pola pikir ketergantungan juga harus diubah dengan pola pikir kemandirian dengan mengembangkan jiwa kewirausahawan dan menciptakan lapangan kerja untuk diri sendiri dan sesama warganya, sehingga negara akan mampu mengelola sumber daya alam dengan memaksimalkan sumber daya manusianya sendiri dan tidak akan terus menerus menggantungkan roda perekonomiannya kepada investor asing.
Bahwa mereka pekerjalah, yang menduduki lantai ekonomi perekonomian Indonesia
– Tan Malaka
Selamat Hari Buruh.
Ditulis oleh Fitria Yuniarti
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!